Oleh : Dominggus Labok Ketua GMKI Dobo
Jagad Warta – Dobo, Ketua GMKI Cabang Dobo, Dominggus Labok, merasa sangat kecewa atas sanksi pidana yang di berikan kepada pelaku pemerkosaan OK.
Pasalnya, C.B.L (korban).yang alami peristiwa pada tanggal 21 Agustus 2022 kemarin.
Menurut Labok, ketika publik membaca berita bahwa tersangka OK pelaku seksual dan pembunuhan keji terhadap anak dibawah umur terancam pidana 15 tahun maka sontak mereka kaget dan tidak puas kenapa hanya 15 tahun ?.
Bukankah harus seumur hidup atau hukuman mati ?.
Untuk itulah, selaku, ketua cabang GMKI Dobo, menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi Widodo, Menkumham, Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak RI (PPA), Kepala Kejari Aru, Kapolres Aru dan Ketua Pengadilan Negeri Dobo.
Inti dalam surat tersebut, yakni, merilis
sedikit dari bagian yang di atur dalam berbagai regulasi di Negara kita NKRI.
Berikut ini ulasannya, realita perkosaan sesungguhnya, masih banyak dan tidak terungkap ke permukaan. Khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru.
Salah satunya, terjadi di Desa wangel, Kabupaten Kepulauan Aru yang sampai saat ini, belum di temukan tersangkanya dan yang baru terjadi kemarin tepatnya, di belakang Lokalisasi Dusun Marbali yang hukumannya tidak sesuai dengan perbuatan nya.
Oleh karena itu, terkait dengan kasus perkosaan sendiri tetap dan masih banyak yang menjadi misteri.
Perkosaan adalah merupakan, perilaku biadab, Pelakunya pantas untuk dijatuhi pidana yang setimpal.
Jika dilihat dari kacamata viktimologis, tindak pidana perkosaan tentu berbeda dengan tindak pidana lain.
Perkosaan sendiri meninggalkan, trauma yang mendalam. Bahkan petaka seumur hidup bagi korban dan keluarga korban karena bukan saja, terenggutnya mahkota keperawanan seseorang, tetapi yang lebih dari itu adalah hilangnya masa depan korban.
Bahkan pada masyarakat tertentu lantaran, hidupnya serasa bagaikan bangkai yang hidup. Dengan mengingat derita korban yang demikian, maka perlu dirumuskan kembali pidana yang sepadan dengan penderitaan korban, untuk dijatuhkan kepada pelaku.
Karena secara hukum normatifnya sendiri, sebagai ancaman pidana bagi pelaku perkosaan yang sudah sangat tinggi.
Hal yang sama, juga dalam KUHP telah merumuskan tentang sanksi pidana bagi pemerkosa maksimal 12 tahun penjara.
Kemudian Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, ancaman hukumannya terhadap pelaku perkosaan juga tergolong tinggi yaitu 15 tahun.
Sedangkan, perkosaan dalam hubungan rumah tangga, yang di atur Undang- Undang No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga juga memberikan ancaman yang cukup fantastis bagi pelaku kekerasan seksual (termasuk perkosaan) dengan pidana 15 tahun pidana penjara,sampai 20 tahun.
Jika Dilihat dari berat dan ringannya pidana (strafmaat), pidana yang diancamkan bagi para pelaku pemerkosaan maka sebenarnya tergolong amat berat.
Tetapi jika kita menilik maka perbuatan pemerkosaan tetap merajalela di negeri ini lebih khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru.
Sehingga dari hal di atas, maka saya, patutlah pertanyakan tentang di manakah keefektifan jenis pidana dalam penerapan pidana penjara walaupun, Negara tetap berkewajiban untuk memberikan “akomodasi” selama yang pelaku pemerkosaan tersebut dipidana.
Beban ini, jelas tidak ada dalam pidana kebiri karena dengan kebiri maka saya pastikan yang bersangkutan atau pelaku tidak akan mengulangi lagi perkosaan/perbuatan yang sama karena dengan kebiri maka tidak bisa akan dimungkinkan adanya recidive perkosaan.
Sanksi yang dirasakan setimpal dan adanya prinsip timbal balik yaitu, ” mata dibayar mata, dan anggota badan dibayar dengan anggota badan, serta nyawa dibayar dengan nyawa” tercapai.
Oleh karena itu, seorang yang telah merusak “anggota” biologis seseorang dibalas dengan “anggota” biologis yang serupa.
Agar yang bersangkutan bisa merasakan penderitaan seumur hidup yang diderita oleh korban walaupun tidak sama seperti yang dirasakan oleh si pelaku. Oleh karena itu, sangat penting tentang jenis pidana kebiri ini bisa menjadi solusi mujarab atas perkosaan yang terjadi di akhir-akhir ini semakin binal.
Terlebih khusus di Kabupaten Kepulauan Aru dan satu hal yang saya sampaikan, agar bisa menjadi bahan pertimbangan dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi (pelaku).
Bagi saya meskipun pertimbangan humanisme dan Hak Asasi Manusia tetap patut dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana namun, HAM bagi pelaku pemerkosaan sudah barang tentu dengan sendirinya dilepaskan saat yang bersangkutan melakukan tindakan pemerkosaan terhadap korban.
Dengan demikian,si pelaku tidak berhak lagi menuntut HAM nya.
Secara teoritik, penjatuhan kebiri untuk diintroduksi dalam penjatuhan pidana dapat dibenarkan.
Hal demikian, sebagaimana ditawarkan oleh Fletcher bahwa saat sekarang aliran new retributivism dapat menjadi alternatif penjatuhan pidana.
Selama ini, retributivism murni dikritik oleh banyak orang karena tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia, karena hukum pidana hanya ditujukan untuk pembalasan tanpa harus mempertimbangkan tujuan, sementara tujuan satu-satunya, dari pidana adalah pembalasan dan memberikan efek jera bagi pelaku.
Atas kritik ini, pandangan pidana kemudian beralih kepada utilitarianism. Penjatuhan pidana harus memperhatikan humanisme dan mengedepankan Hak Asasi Manusia.
Namun dalam perkosaan, sendiri terkait dengan aliran yang cocok diterapkan, adalah bukan utilitarianism, melainkan new retributive yakni, modifikasi dari teori retributive murni, dengan pandangan yang terakhir maka model pemberian/penyuntikan hormon anti androgen menjadi tindakan yang tepat. Bukan kebiri dengan cara pembedahan dan pemotongan testis.
Dengan demikian, pidana kebiri memiliki landasan teoritik/filosofik dan landasan sosiologis demi kepentingan masyarakat umum serta dapat menjadi satu landasan operasional lagi yang diperlukan yaitu, perlunya payung yuridis, agar kebiri dapat dijatuhkan terhadap pelaku perkosaan.
Idealnya, landasan yuridis tersebut, diintegrasikan dalam KUHP atau undang- undang terkait dengan kekerasan seksual.
Namun mengingat ancaman perkosaan yang sudah di luar batas nalar kemanusiaan, bahkan lebih rendah dari insting khayawaniyah maka Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika tidak ingin para perempuan terenggut kehormatannya secara sia-sia. DW.