Oleh : Edi Santoso
Jagad Warta – Situbondo, Pasca Kejaksaan Negeri Situbondo, menetapkan, enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Situbondo, kini publik menunggu perkembangannya.
Salah satu yang ditunggu, adalah sikap dari para tersangka. Khususnya, tersangka yang merupakan, pejabat di lingkungan Pemkab Situbondo.
Publik bertanya-tanya, akankah mereka menjadi bemper dan membiarkan bertanggung jawab sendiri ?.
Atau mereka akan terbuka dan menyampaikan kebenaran apa yang sesungguhnya terjadii.
Tanpa mengabaikan, azas praduga tak bersalah serta Penasehat Hukum yang sedang berupaya, membebaskan atau setidaknya, meringankan persoalan hukum para tersangka.
Disini, melalui, penulis menyampaikan, kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.
Jika seandainya, nanti para pejabat di DLH tersebut terbukti melakukan tindak pidana dalam jabatan (baca; korupsi), maka selain hukuman penjara, karier mereka akan selesai.
Mengacu kepada pasal 87 ayat (4) Undang Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pasal 250 PP No. 11 Tahun 2017, tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, besar kemungkinan para pejabat di DLH itu akan diberhentikan dengan rasa tidak hormat.
Pada situasi seperti itu, apa yang bisa diperbuat oleh para tersangka tersebut ?.
Pilihan pertama, bisa jadi “Tiji Tibeh” (mati siji mati kabeh) yang artinya, para tersangka akan terbuka menyeret nama lain.
Pilihan lainnya, yang mungkin lebih bagus, mempercayakan ” Dia yang tidak boleh disebut namanya ” akan mampu menyelesaikan perkara ini dan mengupayakan agar status tersangka bisa berubah.
Jika jalan kedua yang dipilih, salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah melakukan Pra-peradilan.
Secara Yuridis, memang ini jalannya. Secara Non Yuridis, di tempat ini adalah momennya.
Pilihan “Dia yang tidak boleh disebut namanya” untuk menjauh ketika kasus ini mulai mencuat, bukan berarti dia akan meninggalkan para tersangka.
Pada waktunya, menurut analisa penulis, dia akan membantu dengan menurunkan para Penasehat Hukum – Penasehat Hukum yang dia percaya. Bukan hanya agar tersangka dan keluarganya tidak merasa ditinggalkan, tapi para pengacara ini juga membawa visi mengamankan ” Dia yang tidak boleh disebut namanya “.
Di sisi Non Yuridis, penulis meyakini, ” Dia yang tidak boleh disebut namanya ” akan melakukan gerilya untuk penaklukan.
Pimpinan tertinggi di lembaga yang menangani perkara ini, adalah orang baru yang notabene bisa saja tidak seperti pejabat lama yang konon sulit ditaklukkan.
Salah satu tolok ukurnya sebenarnya sederhana. Pernahkan mereka bertemu empat mata dan membicarakan perkara ini, di sebuah kota misalnya ?.
Maka seperti penulis sampaikan, di awal tulisan ini, Pra-peradilan adalah peluang para tersangka bebas dan ” Dia yang tidak boleh disebut namanya ” tidak terbawa arus.
Siapa tahu nanti dalam Pra-peradilan, lembaga yang di Pra-peradilan mendadak ijin sita dan penggeladahan dari pengadilan hilang.
Siapa tahu nanti hasil pemeriksaan dari lembaga yang berkompeten, mendadak tidak ada.
Siapa tahu nanti kerugian negara versi BPK RI, sudah dibayarkan dan tidak ada masalah meski dibayar setelah kasus ini berjalan.
Siapa tahu kalimat sakti yang menyatakan, ” pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidananya ” mendadak tidak sakti lagi.
Praperadilan, sebentar lagi akan menyediakan panggungnya!
Edi Santoso
Pengamat Hukum